Diwaktu kita kecil, orang tua sering menyarankan pada anaknya : “Nak, nanti kalau besar jadi Tentara ya…..dokter ya…, presiden ya…, gubernur ya….Insinyur ya!”….. dll. Namun, sangat sedikit orang tua yang berwejang (berujar): “Nak, kalau besar jadi anak yang berbhakti ya…, menghormati orang tua, banyak ilmu yang bermanfaat, adil, dan bijaksana”.
Tanpa disadari, hal tersebut membuat anak cenderung mempunyai mimpi-mimpi atau cita-cita setinggi langit. Memang….. jika ditelaah, keinginan yang tinggi itu suatu yang progresif bagi pertumbuhan anak. Tapi, manakala cita-cita itu terbentur realitas personal dan lingkungan, sering si anak tidak siap mental dalam menghadapinya. Dan mungkin saja, realitas “absurd” tersebut berdampak pada pola pikir anak tersebut dikemudian hari.
Terkait dengan beban si anak yang demikian "berat" tersebut, akhirnya dalam perkembangannya, terciptalah generasi-generasi instan yang memaksakan potensi dan kemampuan. Generasi instan itu semakin terlihat, jika dalam proses pendewasaan anak, masih terdapat pemaksaan misalnya adanya kehendak dari orang tuanya kepada anaknya. Sehingga cara-cara yang dipakai adalah cara yang instan, demi meraih cita-cita, kedudukan atau simpati. Maka, disinilah terkuak adanya pengutamaan, dimana terdapat pemaksaan seseorang untuk menjadi orang utama dengan bukan berdasar pada potensi dan kemampuan yang dimilikinya, melainkan karena kekuasaan dan hasrat semata.
Seorang tentara haruslah punya nyali besar dalam bertempur, dan bukan malah lari terbirit-birit diwaktu terserang musuh. Seorang wakil rakyat haruslah mampu menjadi pengayom sekaligus pelayan bagi orang-orang yang diwakilinya, bukan malah mengebiri hak-hak serta melalaikan kewajibannya. Jika dibiarkan, akhirnya terbentuklah pelayan-pelayan rakyat yang prakmatis, karena terbentuknya juga karena materi. Dan tentu saja tidak terjamin produktifitasnya. Kemudian, seorang siswa yang ahli seni, dipaksa memenuhi kehendak orang tuanya untuk ikut dalam jurusan kedokteran yang tidak sesuai kemampuannya. Dalam prakteknya, sang dokter tidak kunjung untuk mampu menyelesaikan perkuliahannya. Kemudian dipakai juga cara instan untuk cepat lulus. Ataupun bila lulus, riskan terjadi malpraktek dikemudian hari. Fenomena ini terjadi karena dalam memperoleh profesi, tak jarang hanya mengandalkan cara-cara yang instan, yaitu dengan “asal jadi”, namun tanpa dibekali oleh keahlian dan kematangan intelektual, mental dan spiritual.
Pada dasarnya pengutamaan seseorang merupakan tindakan mulia, manakala dibekali dengan unsur-unsur yang utama. Artinya, potensi seseorang untuk berkembang dan punya skill tertentu, tentunya haruslah dilengkapi dengan sikap mental Raja sekaligus ksatria. Sikap Raja adalah kesiapan untuk menerima tantangan, kemenangan atau keberhasilan dengan adanya penghargaan atas unit-unit yang kalah. Adapun sikap seorang ksatria memunculkan sikap “kelogowoan” akibat dari kekalahan perang dan ketidakkemampuannya. Karena, menang dan kalah haruslah berkat kuasa nan bijaksana, sedangkan kemuliaan atau keutamaan perlu diiringi dengan kebesaran jiwa. Jika pengutamaan tidak diiringi dengan keutamaan personal, maka akan mengakibatkan remuknya sendi-sendi jiwa. Pepatah: “didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat”, tak berlaku lagi jika sendi-sendi jiwa tanpa kontrol dan terus merongrong akal sehat didalamnya.
Seseorang yang utama, bukan tidak mungkin berangkat dari pengutamaan-pengutamaan di sekelilingnya, jika mau belajar perihal penerapan unsur-unsur utamanya. Di lain pihak, seseorang yang berangkat dari unsur-unsur utama, bisa jadi terjerumus dalam belenggu pengutamaan yang hanya memperlihatkan “penampakannya”, namun minim dalam realisasi dan penjiwaannya. Sangat beruntung jika kita terpilih karena pengutamaan, dan berprinsip tanpa melalaikan unsur-unsur utamanya. Atau seseorang dengan unsur utama yang kuat melekat, sehingga terpilih dalam pengutamaan diantara lainnya. Namun...., jika tak terpilih dan berkesempatan melalui alunan pengutamaan pun, minimal kita juga turut mengemban untuk mengendalikan pengutamaan yang lebih berat secara tradisi yaitu dalam diri kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar